Translate

Minggu, 26 Mei 2013

Perkenalan

          Tepatnya Oktober 2009, aku kemudian memulai hidup baruku. Sebagai murid di sebuah SMA terpencil desa Lemahabang. Tinggal bersama ibu dari papaku. Aku meninggalkan hatiku di jakarta, di Pasar Minggu.
          Ya, jujur saja aku anak yang kaku tidak begitu pandai bergaul, pendiam dan penyendiri.

 




          Mungkin karna pergaulan yang aman dan sangat menyenangkan, dimana aku terbiasa di manja, terbiasa diberi perhatian penuh, di tutupi kesalahanku dan di semangati kala aku lemah. Setelah sendiri di Sekolah baru perasaan depresi itu ada. Bayangkan diawal aku sudah di bully, mendapat perlakuan diskriminatif. Sirik! ya, mungkin. Tidak ada itu dalam kamusku sombong, aku pemalu. Ya, memang aku siswi pindahan dari jakarta, aku biasa dengan fasilitas lengkap khas ibu kota negara. Hal yang wajar jika aku sering bertanya dan lebih kearah membandingkan desa ini dengan kota kelahiran ku Jakarta, bukan dengan maksud sombong, tapi lebih ke arah heran dan shock pasca perubahan kondisi lingkungan yang aku terima di usia labil, 15 tahun. Seperti seragam ku yang di permasalahkan, penggunaan bahasa serta handphone ku yang akhirnya harus di sita pihak sekolah.
          Udik! Norak! Kampungan! aku marah, kecewa, sedih dan aku sendiri! Sampai di rumah nenek ku pun aku tetap asti yang sama. Yang menyendiri pada akhirnya, yang kaku tanpa basa-basi. Tidak hanya sampai di lingkungan sosial, di lingkungan keluarga pun sama. 15 tahun hidup di Jakarta dengan mama papa, mana pernah aku belajar mengurus rumah, untuk menyapu dan mengepel saja tidak. Sudah ku bilang, aku biasa di manja dan hidup tenang walau belum tentu senang. Baiklah itu dulu kini aku di hadapkan dengan pekerjaan berat yang harus aku jalani di rumah saudara, atau istilahnya ya aku hanya tinggal menumpang disini untuk melanjutkan pendidikan ku. Apapun itu konsekuensinya aku terima.
       Bangun sebelum jam 5 pagi. Membuka semua gorden, mencuci setumpuk piring kotor bekas makan malam, menyapu dapur, ruangan dalam, dan teras rumah. Mengepel dari dapur , ke ruang dalam dan teras rumah dengan kain pel yang harus berbeda sesuai tempatnya. Mengejar waktu, jam 6 aku harus sudah mandi dan bersiap ke sekolah. Aku bekerja keras, setiap hari seperti itu. Seminggu 3 kali aku menyetrika pakaian semua penghuni rumah. Seminggu sekali aku mengelap kaca-kaca di rumah nenek yang bergaya rumah klasik jaman dulu, dengan bangunan yang luas, aku harus cepat beradaptasi untuk semua kesusah payahan dan pekerjaan-pekerjaan berat yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan.
       Bagaimanapun tak bisa aku menghindar dari kesalahan dan kecerobohan yang aku lakukan. Dan, bibiku bukan tipe penyuruh yang detail menjelaskan, dia hanya suka mengisyaratkan, akhirnya aku lebih dituntut untuk belajar melihat dari pada mendengar. Belum lagi konflik batin yang sering aku hadapi setiap menitnya tentang perbedaan kondisi dan beberapa kenyataan pahit yang harus aku telan sendiri di tempat asing yang sangat tidak bersahabat dan begitu tidak ramahnya tempat asing ini pada anak seperti ku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar